Rabu, 14 November 2012

Sejarah 1-Suro Tahun Saka

Kalau kita mengungkap sejarah 1-Suro-Tahun SAKA berdasarkan kalender JAWA, ternyata sejarah tersebut diwarnai dengan lembaran-lembaran hitam.

Orang JAWA mulai memberlakukan kalender JAWA bertepatan dengan Tahun 78 MASEHI, bulan pertama disebut bulan SRAWANA, ke-2 BADHRAPADA, ke-3 ASWINA, ke-4 KARTIKA, ke-5 MARGASIRA, ke-6 PUSYA, ke-7 MUKHA, ke-8 PALGUNA, ke-9 CAITRA, ke-10 WAISHAKA, ke-11 JYESTHA, ke-12 ASHADA.

Kemudian nama-nama bulan tersebut dirubah, bulan pertama disebut bulan SURO, ke-2 SAPAR, ke-3 MULUD, ke-4 BAKDOMULUD, ke-5 JUMADILAWAL, ke-6 JUMADILAKIR, ke-7 REJEB, ke-8 RUWAH, ke-9 PASA, ke-10 SAWAL, ke-11 SELA, ke-12 BESAR.

Bulan pertama kalender JAWA tahun 1 SAKA atau tahun SAKA bertepatan dengan tahun 78 MASEHI tanggal 8 JULI. Karena kalender JAWA menggunakan dasar peredaran MATAHARI plus Tahun KABISAT yaitu jatuh pada PRANOTOMONGSO KAWOLU (PEBRUARI) maka unsur kalender JAWA sama dengan kalender MASEHI yaitu 365 hari + Tahun KABISAT (6 jam atau ¼ hari). Jadi kalau hari besar orang JAWA jatuh pada tanggal 1-SURO yang bertapatan dengan tanggal 8-JULI tahun MASEHI, seharusnya hari besar orang JAWA tanggalnya tetap tidak berubah-ubah yaitu selalu bertepatan dengan tanggal 8-JULI. Tapi kenyataan sekarang ini hari besar orang JAWA 1-SURO selalu berubah-ubah mencla-mencle akibat ulahnya Sultan Agung ANYOKRO KUSUMO.

Seperti kita ketahui tujuan dibentuknya PAGUYUBAN KAPRIBADEN adalah untuk melestarikan ajaran atau wulang-wuruk ROMO HERUCOKRO SEMONO yang tidak ada duanya didunia disamping untuk mengembalikan BUDAYA JAWA yang sedang diancam kehancuran. Berbicara mengenai kebudayaan kami teringat akan fatwa yang pernah diucapkan oleh seorang filosof dari AFGANISTAN atau budayawan yang mengatakan: ”BANGSA YANG TIDAK MEMILIKI BUDAYA BERARTI TIDAK MEMILIKI MASA DEPAN.”

Sekarang bagaimana halnya dengan bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini banyak kehilangan jati dirinya dan diperparah dengan terancamnya BUDAYA JAWA? Apakah bangsa Indonesia tidak akan memiliki masa depan karena tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki budaya? Tidak memiliki bangsa berarti tidak memiliki negara. Tidak ada BANGSA INDONESIA berarti tidak ada NEGARA INDONESIA.

Marilah kita sejenak menengok kebelakang sekitar 373 tahun yang lalu tepatnya tahun 1555 SAKA atau tahun 1633 MASEHI dimana pada saat itu tahun baru orang JAWA 1-SURO SAKA bertepatan dengan 1-MUHARAM tahun HIJRAH. Kesempatan itu dipakai SULTAN AGUNG ANYOKRO KUSUMO untuk menghapus KALENDER JAWA tahun SAKA dan diganti dengan KALENDER ARAB tahun HIJRAH.

Tindakan yang sangat revolusioner itu dilakukan dalam upayanya mengislamkan orang JAWA. Selanjutnya hanya diberlakukan KALENDER HIJRAH yang berdasarkan peredaran bulan; sudah barang tentu tidak cocok dengan KALENDER JAWA tahun SAKA yang berdasarkan peredaran matahari plus tahun KABISAT. Disisi lain beliau lupa bahwa tindakan tersebut bisa menghancurkan BUDAYA JAWA; akan tetapi beliau tidak peduli karena sudah terbius dan terikat dengan janji-janji SULTAN TURKI yang akan mengangkat SULTAN AGUNG ANYOKRO KUSUMO menjadi SAYIDINA PRANOTO GOMO disamping akan diberi bantuan senjata dan amunisi. Akibat dihapusnya KALENDER JAWA tahun SAKA maka setiap kali orang JAWA memperingati TAHUN BARU 1-SURO tahun SAKA kenyataannya yang diperingati justru 1-MUHARAM tahun HIJRAH. Jadi selama 373 tahun orang JAWA dilecehkan oleh SULTAN AGUNG ANYOKRO KUSUMO; setiap memperingati tahun baru JAWA yang diperingati justru tahun baru ISLAM.

Berdasarkan simposium yang dilaksanakan oleh team perumus yang terdiri dari pakar ASTRONOMI, para dosen U.G.M., BUDAYAWAN dan lain-lain maka diketahui TAHUN BARU 1-SURO tahun SAKA yang sebenarnya jatuh pada tanggal 8 JULI; sampai kapanpun 1-SURO tahun SAKA tidak akan berubah-ubah tetap tanggal 8 JULI, karena dasar perhitungannya sama dengan tahun MASEHI.

Demi mengembalikan sekaligus melestarikan BUDAYA JAWA yang adi luhung sudah barang tentu kita semua terutama yang mengaku sebagai orang JAWA harus berjuang dengan cara yang ramah lingkungan, bukan dengan cara HUKUM RIMBA mengerahkan massa sebanyak-banyaknya untuk memaksakan kehendak dengan disertai tindak kekerasan seperti jaman JAHILLIAH. Karena biang keladinya orang KRATON, maka seharusnya orang-orang KRATON pula yang mempunyai TANGGUNG JAWAB MORAL untuk meluruskan kejadian 373 tahun yang lalu. Kalau tidak segera diluruskan kemungkinan besar punjernya orang JAWA ini akan mendapat kutukan dari NENEK MOYANGNYA.

Secara wadah gede kita tidak bisa menuding SULTAN AGUNG ANYOKRO KUSUMO; sebab kalau kita perhatikan tahunnya yaitu tahun SAKA 1555 bertepatan dengan tahun 1633 MASEHI, semuanya tahun kembar yaitu pembuka dan penutup, wadah dan isinya URIP dan RAGANYA. 322 tahun kemudian muncul RATU ADIL ANDEPANI JAGAD AGUNG yaitu tahun 1955 MASEHI juga tahun kembar. Kalau kita perhatikan tahunnya semuanya tahun kembar sepertinya ini sudah menjadi JANGKA atau Jongko yang sudah digariskan sedangkan manusia hanya dipakai sebagai perantaranya saja. Oleh karena itu sekali lagi secara wadah gede kita tidak bisa menuding SULTAN AFUNG ANYOKRO KUSUMO, akan tetapi kalau ada yang menuding secara individu atau pribadi ya mohon dimaklumi.

sumber : http://gusjawi.wordpress.com/2012/03/15/1-suro-1-saka/

Kamis, 08 Maret 2012

SATU-satunya ejaan baku yang pernah dikenal di masa lampau, selama berabad-abad, untuk perkataan yang padan dengan ayah, adalah bapa, bukan bapak. Demikian kita simak lema ini dalam salah satu kamus bahasa Indonesia yang terdahulu, Kamus Moderen Bahasa Indonesia oleh Sutan Mohammad Zain.

Dengan mengacu itu, di bawah nanti kita akan melihat terjadinya perubahan harafiah dari bapa menjadi bapak, yang kemudian berkembang menjadi dua entri yang sama-sama terpakai, masing-masing bertalian dengan tradisi yang melahirkan semacam truisme yang khas disertai rasa percaya, yang membuatnya terbatas di satu pihak, dan tradisi yang berkembang dan membuatnya berubah dan menjadi leluasa di lain pihak.

Sebegitu jauh, dua lema itu, yaitu bapa dan bapak, baru kita jumpai pembedaannya secara harafiah, tanpa uraian yang jelas, melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia di bawah selia Anton M Moeliono. Apa yang dicatat oleh kamus resmi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P&K, atas dua kata tersebut, memang tidak kita jumpai dalam kamus standar sebelumnya, Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh WJS Poerwadarminta. Dalam kamus Poerwadarminta itu kita hanya membaca satu lema saja, yaitu: bapa(k). Ini artinya, kata ini bisa dibaca bapa, bisa juga bapak. Huruf 'k' di situ, sesuai dengan ejaan Suwandi, dimaksudkan sebagai ganti tanda ('), yang dalam tulisan Melayu lama beraksara Arab gundul biasanya ditandai dengan hamzah.

Walaupun memang tanpa uraian yang jelas mengenai mengapa ada bapa dan ada pula bapak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toh dengan menghadirkan saja dua lema dengan perbedaan harafiah, tanpa disertai pula tanda anak panah yang lazim untuk rujuk silang, maka cukup beralasan disimpulkan bahwa kamus ini telah menunjukkan dua tradisi yang dimaksud di atas.

Sebelum kita memeriksa lebih rinci mengenai hal itu, coba kita perhatikan terlebih dulu soal bagaimana kamus ini memberi deskripsi akan kedua lema tersebut:

bapa, orang laki-laki yang dipandang sebagai orang tua...

bapak, 1 orang tua laki-laki, ayah; 2 orang laki-laki yang dalam pertalian kekeluargaan boleh dianggap sama dengan ayah; 3 orang yang dipandang sebagai orang tua atau orang yang dihormati; 4 panggilan kepada orang laki-laki yang lebih tua dari yang memanggil; 5 orang yang menjadi pelindung; 6 pejabat...

Khusus menyangkut lema bapa, maka dengannya kita dapat melihat dengan jelas akan hubungan tradisi bahasa tulis yang berpangkal pada masa di mana perkataan ini pertama kali muncul dalam pustaka bahasa Indonesia beraksara Latin. Pustaka pertama Indonesia yang beraksara Latin tentu saja muncul di sini setelah bangsa-bangsa Barat menjelajah kemudian menjajah Indonesia. Salah satu buku penting dari kepustakaan lama yang dalamnya tersua perkataan bapa dengan pengertian yang khas, pertalian yang unik, dan penghayatan yang istimewa bagi pemakainya, adalah terjemahan Melayu atas kitab suci Nasrani. Penerjemahan kitab suci Nasrani, yang notabene merupakan buku-buku awal bahasa Indonesia dengan huruf Latin, seluruhnya dikerjakan oleh orang-orang Belanda sejak tahun 1629-hampir seratus tahun setelah sekolah pertama di Indonesia dengan sistem pendidikan dan pengajaran Barat didirikan di Ambon oleh Portugis-dan terus berulang direvisi dalam setiap abadnya sampai abad ke-20.

Adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh JS Badudu (yang bertolak dari kamus Sutan Mohammad Zain), kita baca dua lema ini, bapa dan bapak dalam deskripsi yang memperjelas hakikatnya masing-masing. Pada entri bapa, kita baca keterangan yang lazim digunakan oleh pihak Nasrani, yaitu Allah Bapa. Keterangannya, "sebutan dalam agama Kristen yang sama dengan dalam agama Islam Allah Subhanahu Wa Taala." Sementara, dalam kamus Sutan Mohammad Zain tadi, keterangannya untuk kata bapa adalah, "kurang halus dari pada ayah, lebih halus dari pada pa' saja."

Secara khusus, pertalian antara bapa dan Allah dalam kitab suci Nasrani sebagai buku awal kepustakaan Indonesia beraksara Latin itu, adalah dari perikop Matius 6, yaitu tentang doa yang diajarkan Isa Almasih-dalam terjemahan sekarang-adalah "Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu." Dalam terjemahan-terjemahan bahasa Barat dari mana terjemahan Indonesia berangkat, kalimat ini berbunyi, Belanda: "Onze Vader, Die in de hemelen zijt. Uw Naam worde geheiligd"; Inggris: "Our Father which art in heaven, hallowed be thy name"; Perancis: "Notre Pére qui es aux cieux. Que ton nom soit sanctifié"; Portugis: "Pai nosso que estás nos céus, santificado seja o teu nome." Dengan memberi contoh terjemahan-terjemahan bahasa Eropa, yang semuanya bersumber dari teks asli bahasa Yunani, maksudnya untuk menyimak dan membandingkan, bahwa dalam bahasa-bahasa Eropa tersebut tidak ada perbedaan antara vader-father-pére-pai bagi God-God-Dieu-Deus dan bagi mens-man-homme-homem; tidak seperti dalam bahasa Indonesia kalangan Nasrani yang membedakan bapa bagi Allah, dan bapak bagi manusia. Mungkin di situlah kelebihan bahasa Indonesia.

Dalam kamusnya yang disebut di atas, Sutan Mohammad Zain mengaku, memasukkan pelbagai kata dari kepustakaan lama untuk bahan studi bidang sastra, dari kamus yang standar dan terpakai sampai menjelang penyerahan kedaulatan RI, yaitu kamus bahasa Melayu karya HC Klinkert. Dalam daftar pustaka acuan dari kamus bahasa Indonesia yang diselia Anton M Moeliono itu juga kita baca dua kamus karya HC Klinkert tersebut, yaitu Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek dan Nieuw Nederlandsch-Maleisch Woordenboek.

Nama Klinkert sendiri di kalangan Nasrani sejak abad ke-19 dikenal sebagai penerjemah kita-kitab injil bahasa Melayu yang paling bagus. Terjemahan injilnya dalam bahasa Melayu, sebagai kitab diterbitkan pada tahun 1863, menyangkut kata bapa dari perikop Matius 6 tersebut, bahkan masih diajarkan oleh orang-orang tua di Minahasa sampai tahun 1970-an. Terjemahan Klinkert untuk ayat ini adalah, (sesuai yang tercetak), "Bapa kami jang ada disorga, dipermoeliakanlah kiranja Namamoe." Kalimat terjemahan Klinkert ini telah dibuat menjadi 'paereten' (jimat yang dibungkus kain merah untuk diikatkan di pinggang supaya konon untuk kebal peluru) oleh prajurit-prajurit asal Minahasa yang dibina menjadi mersose (marechaussee) di Magelang, Jawa Tengah (Jateng) untuk keperluan perang di Aceh akhir abad ke-19.

Walau berkutat dengan bahasa, dan menjadi ahli, sebetulnya Klinkert tidak berlatar sekolah tinggi bahasa. Sebelum berangkat ke Indonesia, selagi masih di Nederland, ia bekerja berganti-ganti dan berpindah-pindah, mulai dari buruh pabrik, tukang ukur tanah, sampai masinis kapal. Karena kecelakaan yang dideritanya dalam pekerjaannya selaku masinis kapal, ia berhenti, lantas mendaftar untuk menjadi zending gereja Menonite-yaitu gereja yang oleh awam dimasukkan dalam gugus Reformasi, embrio dari gereja Jawi-yang bertugas di sekitar Muria, Jateng.

Awal mula Klinkert menerjemahkan injil karena melihat terjemahan yang sudah ada sebelumnya, yang telah dibuat atas titah pemerintahan kolonial, oleh Melchior Leijdecker, sulit dipahami oleh pemakai bahasa Melayu umum, yaitu Melayu yang digunakan di pasar-pasar. Terjemahan yang terbit tahun 1733, dianggap sangat sulit, karena terlalu banyaknya kata serapan Arab dan Persia di luar Sansekerta yang dipakainya, dan tidak dipahami oleh khalayak biasa yang tidak berpengalaman membaca sastra Melayu beraksara Arab gundul. Alkitab terjemahan Leijdecker itu adalah "Elkitab, ija itu segala surat Perdjandjian Lama dan Baharuw atas titah Segala Tuwan Pemarentah Kompanija. Untuk perikop tentang doa yang menyangkut kata bapa tersebut. dalam terjemahan Leijdecker adalah. "Bapa kamij jang ada disawrga, namamu dipersutjikanlah kiranja."

Sebelum Leijdecker mengerjakan terjemahannya itu, terjemahan-terjemahan bahasa Melayu untuk kitab suci Nasrani, yang notabene merupakan tonggak dari buku bahasa Indonesia awal yang bertuliskan huruf Latin, adalah yang dikerjakan oleh Albert Cornelisz Ruyl pada tahun 1629, dicetak di Enkhuizen, Belanda: serta terjemahan Daniel Brouwerius pada tahun 1668, dicetak di Amsterdam, Belanda. Dalam terjemahan Ruyl dan Brouwerius, kata yang dimaksud di atas, dieja dobel 'p', yaitu Bappa. Pada terjemahan Ruyl kalimatnya adalah "Bappa kita yang berdudok kadalam surga, bermumin menjadi akan namma-mu"; sedangkan pada terjemahan Brouwerius kalimatnya adalah "Bappa cami, jang adda de Surga. Namma-mou jadi bersacti."

Untuk melihat lebih persis bagaimana kata bapa, bukan bapa', atau bapak, ditulis dengan cara Melayu lama yang awalnya menggunakan huruf Arab gundul, kita dapat memeriksa pula perikop yang sama ini dalam terjemahan yang dikerjakan oleh William Girdlestone Shellebear, perwira tinggi yang bertugas di Singapura pada tahun 1886. Sebagai komandan dari pasukan laskar Melayu, Shellebear belajar bahasa Melayu dari seorang munsyi terpandang, Datuk Dalam Johar, anak didik langsung dari Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Untuk kata padan ayah yang dimaksud, dapat kita simak dalam terjemahannya dengan huruf Arab gundul, yang kita latinkan di sini, ejaannya menjadi, "ya bapa kami yang disurga, terhormatlah kiranya namamu." Jika kita simak teks ini dalam huruf Arab gundul sesuai yang ditulis oleh Shellebear, maka kata bapa itu adalah ( ), bukan (), atau (), sebagaimana yang berkembang di Indonesia.

Jika kita memeriksa kamus bahasa Malaysia, misalnya Kamus Harian karya Mohd. Salleh Daud dan Asmah Haji Omar (yang pernah dicetak di Indonesia atas izin Federal Publications, Selangor Malaysia), maka di sini pun kita hanya melihat satu saja lema yang baku dalam bahasa Malaysia, yaitu bapa.

Tapi akhirnya memang harus dikatakan, bahwa menariknya bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berkembang-yang antara lain dengan memindai kata bapa yang menjadi bapak dengan deskripsi beragam atas lema yang kedua di konteks ini-menunjukkan bahwa bahasa ini tidak sama lagi dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Sertamerta yang hendak dipindai di atasnya, adalah, bagaimana tradisi yang tertera dalam perikop tersebut, yang awalnya dari pola patriarkhat semit, dalam hal ini Yahudi, melalui pewartaan yang inklusif dengan hellenisme, atau katakanlah Yunani kafir, untuk kata yang aslinya adalah pater, dalam bahasa Indonesia menjadi bapa dan kemudian bapak sebagai suatu perkataan dengan kandungan figuratif dan literal atas sosok seorang ayah, telah berkembang menjadi banyak ragam makna mencakup kaitannya dengan sosiologis dan hubungannya dengan politik. Dalam bahasa Yunani, dari mana kitab injil pertama-tama ditulis, tidak ada beda antara pater untuk Theos (Allah), dan pater untuk anthropos (manusia), sebagaimana halnya juga terjemahan-terjemahan injil dalam bahasa-bahasa Eropa umumnya seperti yang sudah kita simak di atas.

Dalam bahasa Indonesia sekarang, yang akan kita lihat berikut ini, terasa bahwa ketika kata bapak kita gunakan di luar rumah, jadi bukan kepada ayah sendiri, dengannya ada hubungan unik yang hanya bisa dipahami dan kemudian diejawantah dalam pikiran manusia Indonesia sendiri. Perkataan yang bermula melintas dalam tatanan budaya nasional, yang artinya berkonteks politik ini, sebagai suatu pengertian yang mengandung nilai persaudaraan, hakikat kesedarahan, dan rasa senasib-sepenanggungan dalam prayojana kebangsaan, pelan-pelan berubah bersama dengan perubahan politik yang mengubah juga tatanan sosial, jadi suatu istilah yang berjarak, yang acapkali diucapkan dengan perasaan jengkel.

Dulu, ketika presiden pertama RI berkenan dipanggil bung, yaitu sebutan akrab untuk abang atau kakak, maka dengannya memang terlihat kemauan untuk menaruh orang yang memanggilnya sebagai saudara, sedarah, keluarga. Tapi ketika presiden pertama itu dimakzulkan oleh Orde Baru, maka presiden kedua lebih berkenan dipanggil bapak. Namun, bapak yang disebutkan untuk presiden kedua tersebut-apalagi setelah kelewat rajinnya menteri penerangannya tampil di televisi untuk mengulang-ulang kalimat yang sama, "menurut petunjuk bapak presiden"-maka lambatlaun sebutan ini kehilangan fatsoen untuk membangkitkan takzim, sebaliknya orang banyak merasakannya sebagai suatu istilah berjarak yang mengandung ancaman ketakutan, momok, teror.

Dari masa itu juga kita merekam beberapa istilah yang berlatar pada perubahan tatanan karena pelaku-pelaku politik yang menjadi aneh antaranya karena kehilangan hatinurani, menjalar ke dalam perilaku para birokrat disegala urusan. Istilah yang pernah dimasyhurkan oleh Mochtar Lubis pada orasinya yang bagus itu, adalah ABS (asal bapak senang), berlanjut dengan istilah lain antara bapakisme dan ABG (anak bapak gua), yang semuanya dihubungkan dengan kelakuan-kelakuan norak, korupsi: maling duit negara buat foya-foya dengan bini muda.

ADA lagi perkataan yang hebat sekali, terjadi dalam bahasa orang Indonesia, yang awalnya tersua dalam bahasa tulis Melayu berhuruf Latin, juga melintas dari tradisi gereja, yaitu perkataan yang dengan sendirinya dipahami dari sudut teologi Nasrani, menyangkut substansi ilahi dalam insani. Perkataan yang dimaksudkan adalah Tuan dan Tuhan.

Pemakai bahasa Indonesia semuanya mengerti bahwa perkataan tuan sifatnya insani, dan perkataan tuhan sifatnya ilahi. Artinya, walaupun dalam kata tuan diterangkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan beberapa catatan, antara lain: satu orang tempat mengabdi, dua yang memberi pekerjaan, tiga orang laki-laki yang patut dihormati, tetap saja dalamnya tidak mengandung pengertian ilahi.

Sebentar lagi kita akan melihat perubahan ejaan dari Tuan ke Tuhan dalam kitab suci Nasrani terjemahan Melayu dengan huruf Latin. Melalui itu dapat gerangan kita simpulkan bahwa pencarian ejaan yang lebih aktual untuk sebutan khusus bagi Isa Almasih dalam terjemahan bahasa Melayu beraksara Latin-yang bersumber dari injil asli bahasa Yunani untuk perkataan Kyrios-menjadi Tuhan dan sebelumnya Tuan, serta-merta telah melahirkan juga eksegesis yang jamak. Sebelum kita memeriksa bukti itu dengan membuka pelbagai versi terjemahan kitab suci Nasrani tersebut-semuanya masih tersimpan dengan rapi di perpustakaan Lembaga Alkitab Indonesia, yang sebagian fotokopinya kami sertakan di sini-patutlah terlebih dulu kita melihat juga bagaimana orang Nasrani sekarang mencatat perkataan Tuhan dalam kamus-kamusnya tentang gereja.

Agaknya buku pertama yang memberi keterangan tentang Tuhan dengan cara yang mungkin mengejutkan awam adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ. Keterangannya di situ, Tuhan, "arti kata 'Tuhan' ada hubungannya dengan kata Melayu 'tuan' yang berarti atasan/penguasa/pemilik." Ensiklopedia yang hanya satu jilid ini pertama terbit pada tahun 1976. Keterangan tersebut masih kita baca lagi dalam ensiklopedianya yang lebih paripurna, terdiri dari lima jilid, terbit pada tahun 1991, yaitu Ensiklopedi Gereja.

Melihat keterangan itu, dan melihat pula pemakaian kata Tuhan merupakan sesuatu yang mudasir dalam agama Kristen, maka boleh dibilang hal itu sepenuhnya merupakan masalah teologi Kristen. Sesuai data yang kita punyai, istilah Tuhan yang berasal dari kata Tuan, pertama hadir dalam peta kepustakaan Melayu beraksara Latin lewat terjemahan kitabsuci Nasrani tersebut. Perkataan ini dimaksudkan untuk mewakili sifat-sifat omnipresensi atas kata bahasa Yunani, Kyrios, dengan kaitannya pada tradisi Ibrani untuk kata Adon, Adonai, dengan aktualitas sebagai raja dalam kata Yahweh. Maka, memang akan membingungkan, jika orang membaca kitabsuci Nasrani terjemahan Indonesia. Dalam kitab pertama, Perjanjian Lama yang aslinya berbahasa Ibrani, untuk kata-kata Adonai dan Yahweh semua diterjemahkan menjadi Tuhan, sementara dalam kitab kedua, Perjanjian Baru, untuk kata Kyrios juga diterjemahkan menjadi Tuhan.

Dalam kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, untuk kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios, dan sebutan ini diperuntukkan bagi Isa Almasih, diterjemahkannya menjadi tuan. Coba kita periksa itu dalam buku kelima Perjanjian Baru, dari bagian surat injili Paulus kepada umat di Roma. Kita baca bagian 1:1-4, yaitu, "Paulo Jesu Christo pounja hamba, Apostolo bapangil, bertsjerei pada Deos pounja Evangelio, (Nang dia daulou souda djandji derri Nabbi Nabbinja, dalam Sagrada Scriptoura). Derri Annanja lacki lacki (jang souda berjadi derri bidji David dalam daging: Jang dengan coassa souda caliatan jang Annac Deos, dalam Spirito yang bersaksiakan carna bangon derri matti) artinya Jesu Christon Tuan cami."

Berhubung terjemahan Brouwerius ini dianggap sulit, antara lain banyaknya serapan kata bahasa Portugis, dan karenanya hanya mudah dipakai di kalangan komunitas bekas-bekas budak Portugis, para Mardijker, maka timbul gagasan orang-orang saleh di antara bedebah-bedebah VOC untuk menerjemahkan kembali seluruh bagian Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan bahasa Melayu yang benar-benar bagus. Tugas itu diserahkan kepada Melchior Leijdecker, pendeta tentara yang berlatar pendidikan kedokteran.

Melalui terjemahan Leijdecker-lah kita menemukan perubahan harafiah dari Tuan menjadi Tuhan. Dalam kitab terjemahannya ini, 'Elkitab, ija itu segala suat Perdjandjian Lama dan Baharuw atas titah Segala Tuawan Pemarentah Kompanija, pada perikop yang sama dengan terjemahan Brouwerius di atas, teksnya adalah, "Pawlus sa'awrang hamba 'Isaj 'Elmeseih, Rasul jang terdoa, jang tasakuw akan memberita Indjil Allah, (Jang dihulu telah dedjandjinja awleh Nabijnja, didalam Suratan yang khudus). Akan Anaknja laki (jang sudah djadi deri beneh Daud atas perij daging: Jang telah detantukan Anakh Allah dengan kawasa atas perij Rohu-'Itakhdis, deri pada kabangkitan deri antara awrang mati,) janij 'Isaj Elmeseih Tuhan kamij."

Jelas, yang tadinya oleh Brouwerius diterjemahkan Tuan-sama dengan bahasa Portugis Senhor, Perancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere-melalui Leijdecker berubah menjadi Tuhan. Nanti pada abad-abad berikut, sepanjang 200 tahun, penerjemah Alkitab bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang mula-mula ditemukan Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani & ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih-masalah rumit yang memang telah menyebabkan gereja bertikai dan setelah itu melahirkan kredo-kredo: Nicea, Constantinopel, Chalcedon-akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia.

Apa yang dilakukan Leijdecker, mengapa Tuan menjadi Tuhan, merupakan masalah khas bahasa Indonesia. Hadirnya huruf 'h' dalam beberapa kata bahasa Indonesia, seperti 'asut' menjadi 'hasut', 'utang' menjadi 'hutang', 'empas' menjadi 'hempas', 'silakan' menjadi 'silakan', agaknya seiring dengan kasus nominatif dan singularis dalam tatabahasa Sansekerta ke Kawi dan Jawa. Misalnya tertulis 'hana' dibaca 'ono', 'hapa' dibaca 'opo'. Di samping itu gagasan Leijdecker mengeja Tuhan untuk mengiring lafaz palatal 'n' dengan tepat. Banyak orang yang baru belajar Melayu, bekas budak Portugis asal Goa, terpengaruh Portugis, melafaz 'n' menjadi 'ng'. Juga di Ambon, di pusat tujuan bangsa-bangsa Barat untuk memperoleh rempah-rempah, Tuan dibaca Tuang. Bahkan setelah Leijdecker mengeja Tuhan pun, orang Ambon tetap membacanya Tuang, sampai sekarang. Maka, di Ambon Tuang Ala berarti Tuhan Allah. Selain itu orang Kristen Ambon menyebut Allah Bapa sebagai Tete Manis, harafiahnya berarti 'kakek yang baik'.

Leijdecker sendiri banyak melakukan kerancuan transliterasi atas kata-kata Melayu dari aksara Arab gundul ke Latin. Melalui contoh acuan perikop di atas, terlihat jelas, bahwa ia tidak mengetahui ketentuan menulis kata-kata Melayu dalam aksara Arab gundul. Umpamanya, agar 'w' dan 'y' berbunyi 'o' dan 'i' di depannya harus dipasang alif. Contohnya 'orang' adalah (), 'oleh' adalah (), 'itu' adalah ().

Sudah tentu terjemahan Leijdecker itu tidak mudah dipahami oleh pembaca awam. Karenanya, di abad berikut, di zaman penjajahan Inggris, timbul gagasan untuk merevisi terjemahan Leijdecker tersebut. Robert Hutchings, pastor gereja Anglikan, menghitung sekitar 10.000 kata yang diacu Leijdecker itu tidak tersua dalam kamus Melayu karya William Marsden yang standar baru itu. Terjemahan revisi ini terbit pada tahun 1817, dicetak di Serampura, India.

Sebelum itu, dua tahun setelah Gubernur Jenderal Inggris Raffles, menggantikan kedudukan Gubernur Jenderal Belanda Janssens, telah datang seorang zending dari lembaga London Missionary Society, yaitu William Milne, ke Malaka menemui Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, meminta bantuannya untuk merevisi terjemahan Leijdecker. Lalu, bersama Claudius Thomsen, mereka mengerjakan revisi atas terjemahan Leijdecker tersebut. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi merasa terganjel khususnya pada sebutan 'bapa' kepada Allah, dan 'anak Allah' kepada Isa Almasih. Memang, perkataan itu dipahami pihak Nasrani sebagai acuan teologis, bukan antropologis, untuk mengaktualkan hakikat masyiah dari leluri Ibrani, yang berkonteks diurapi dan bangkit dari kematian.

Setelah itu masih dilakukan lagi revisi-revisi terjemahan Melayu atas kitabsuci Nasrani tersebut oleh pihak zending Inggris. Yang berikut dipimpin oleh Benjamin Keasberry, dan karyanya itu dibantu pula oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Revisi terjemahan ini terbit pada tahun 1852, dicetak di Singapura.

Namun, di antara sekian banyak revisi yang dikerjakan sepanjang abad ke-19 sampai abad ke-20, bahkan sampai bahasa Melayu menjadi bahasa kebangsaan Indonesia, terlihat dengan jelas, bahwa lema yang digagas Leijdecker untuk menyebut Isa Almasih, Tuhan, telah terus terpakai. Penyusun kamus di abad ke-19 pun membakukannya sebagai lema tersendiri di luar Tuan.

Terjemahan kitabsuci Nasrani yang dianggap tertib bahasa Melayunya adalah yang dikerjakan Klinkert. Ia membakukan Tuhan dalam kitab terjemahan itu menurut pengertian yang sama dengan bahasa sekarang. Klinkert menulis dua versi, yaitu edisi Melayu rendah, Wasijat Yang Baroe, terbit pada tahun 1875; dan edisi Melayu tinggi, Kitaboe'lkoedoes, terbit pada tahun 1879. Versi yang kedua ini merupakan kitab yang paling populer di Minahasa. Di Minahasalah tempat lahirnya gereja protestan yang berorientasi kebangsaan, lima tahun setelah Sumpah pemuda, yaitu KGPM.

Kini, secara linguistik, tidak ada masalah bagi kata Tuhan yang muradif dengan pengertian ilahi. Nama ini pun sudah maktub dalam Pancasila. Yang tidak kurang melahirkan pertanyaan, mengapa sila pertama itu berbunyi 'ketuhanan yang mahaesa', 'bukan 'Tuhan yang mahaesa' saja. Dengan 'ketuhanan', terkesan seakan-akan ada banyak Tuhan di Indonesia, tapi hanya satu Tuhan yang mesti disembah. Memang, dalam kalimat ini kita meraba adanya kompromi politis dari pendiri-pendiri republik. Tidak muncul diskusi bahasa mengenai hal itu sebelum amandemen yang lalu.

TAPI, agaknya bukan itu masalah paling menarik saat ini menyangkut kata Bapak dan Tuhan. Yang paling menarik saat ini adalah menyaksikan Bapak-Bapak-yang duduk di eksekutif, legislatif, yudikatif-yang kelihatannya sudah tidak takut lagi kepada Tuhan. Sudah ketahuan korupsi atau menerima suap, masih berani bersumpah demi nama Tuhan bahwa mereka bersih. Lebih celaka lagi, sudah divonis pun oleh pengadilan, masih ngotot menganggap diri tidak bersalah. Malahan Bapak-Bapak separtai pun membela mati-matian kepada Bapak ketua partai. Yang dilakukan oleh Bapak-Bapak separtai terhadap Bapak ketua partai adalah suatu 'solidaritas dalam kebersalahan'. Astaga, Bapak-Bapak yang sudah tidak takut lagi kepada Tuhan itu, mengira bahwa Tuhan tidak melihat dusta dan tipunya itu, agaknya sedang mengubah kualitas bangsa menjadi bangsa t!**

Remy Sylado ahli bahasa

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/11/dikbud/bapa56.htm

Rabu, 22 Februari 2012




Mendengar kata "KASTA" pasti tak jauh dari agama Hindu.Penggolongan masyarakat dibagi menjadi 4, yang disebut dengan Catur Warna
1. Warna Brahmana, para pekerja di bidang spiritual ; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
2. Warna Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan.
3. Warna Waisya, para pekerja di bidang ekonomi
4. Warna Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas melayani/membantu ketiga warna di atas.

Apabila melihat penjelasan secara kaku, maka kita tidak akan menemukan apa2 disini. yang kita temukan hanyalah perpecahan masyarakat.Mari kita lihat pengertian dari sudut sebelahnya :)
1. Kasta Brahmana, golongan masyarakat yang dekat dengan Tuhan. Disini penulis tidak menyebutkan person / jabatan dan kedudukan dari masyarakat, tetapi menyatakan bahwa orang-orang yang ada pada golongan ini mengerti betul apa yang diinginkan oleh Tuhan.
2. Kasta Ksatria, adalah golongan yang memikirkan nasib orang banyak.
3. Kasta Waisya, adalah golongan yang hidup dan bekerja untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. golongan pada kasta ini mengumpulkan kekayaan untuk anak turunnya.
4. Kasta Sudra, adalah golongan yang dianggap paling buruk karena dalam hidupnya hanya memikirkan bagaimana caranya bisa hidup. Injak bawah, sikut kanan kiri yang penting bisa hidup.

Jika kita lihat dari sudut pandang sifat, atau pengertian yang kedua, jelas bahwa pembagian Kasta bukan didasar dari kekayaan, tetapi dilihat dari jiwa dan pemikiran seseorang. Sudah jelas bahwa yang menjadi pimpinan dalam negeri ini adalah golongan Brahmana dan Ksatria. Golongan yang dekat dengan Tuhan dan selalu memikirkan orang banyak. Mengabdikan dirinya untuk kepentingan orang banyak.

Masalah pribadinya, tidak akan membuat dia menderita dan sedih, karena dalam pikirannya, dia fokus pada kesejahteraan orang banyak.

Sedangkan golongan Waisya dan Sudra, golongan yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya tidaklah pantas untuk menduduki sebuah jabatan apapun dikarenakan pasti menyengsarakan orang banyak.

Pada golongan ini, masalah pribadinya akan dianggap masalah yang paling besar seakan-akan dunia kiamat. Tetapi orang lain disampingnya tidak akan dianggap sama sekali.

Mohon pembaca menyingkirkan balok yang ada di mata, sehingga tulisan ini bisa memberikan inspirasi positif, bahwa tingkat kejiwaan seseorang adalah pemisah yang sangat nyata dalam hidup dan kehidupan. Penulis sedih, karena pimpinan negara tercinta ini bersifat selayaknya kaum Waisya dan Sudra.

Tetapi penulis lebih sedih karena masyarakat banyak dan orang-orang di sekitar penulis ternyata lebih condong ke kepribadian kasta Waisya, dan kasta Sudra.

Sepedih pedih nya masalah pribadimu, lebih berat dan lebih sedih masalah yang dialami oleh ibu pertiwi.


salam curhat,
Ali